Oleh: Dahlan Iskan
Raja Tempe Maling Hati Untuk Tamunya
Rustono raja tempe di Jepang didampingi sang istri di pabriknya. Foto: dahlan iskan/disway. |
Cerita raja tempe di Jepang asal Kabupaten Grobogan itu sungguh menarik. Wartawan Disway, Dahlan Iskan, membuat tulisan bersambung, setelah bertemu dengannya dalam lawatannya ke Negeri Sakura itu, pekan lalu. Inilah tulisan seri pertama.
—-
Saya akhirnya mengunjungi pabrik tempe ini. Di Kyoto, Jepang. Milik raja tempe kita: Rustono. Tepatnya di desa Hachiyado, dekat kota kecil Otsu.
Rustono menjemput saya di stasiun Shinkansen Kyoto. Saya memang naik kereta cepat itu dari Tokyo: dua jam. Lalu naik mobilnya. Menuju rumahnya. Yang jadi pusat pengiriman tempe ke seluruh Jepang.
Rumah itu dilengkapi cool storage. Yang suhunya -30 derajat Celsius. Di situlah tempe Rusto’s disimpan. Agar tahan lama. Menunggu dikirim ke pelanggan. Lewat jasa pengiriman.
Saat saya datang istrinya lagi melakukan pengepakan tempe. Dimasukkan ke dalam boks besar. Sang istri tidak memperhatikan kedatangan saya. Lalu kaget.
Kisah tempe Jepang ini sangat menarik. Tapi kisah raja tempenya tidak kalah menarik. Terutama kisah cintanya.
Waktu itu Rustono kerja di hotel Sahid Jogja. Sebagai orang dari desa bin desa, Rustono selalu mimpi: meningkatkan derajatnya. Bisa kawin dengan salah satu tamunya. Atau anak tamu hotelnya.
Ia ceritakan mimpinya itu ke teman-teman sekerjanya. Rustono diejek: orang desa saja mimpi kawin dengan tamu hotel.
Rustono memang berasal dari sebuah desa di Grobogan, Jateng. Tepatnya desa Kramat, dekat Mrapen: asal api abadi untuk setiap ada PON itu.
Orang tuanya petani. Bersaudara 10 orang. Rustono yang nomor 9. Saat kecil ayahnya meninggal. Sang ibu sendirian: membesarkan 10 anaknya.
Begitu tamat SMAN Grobogan Rustono ke Jakarta. Ikut bibinya. Sambil kuliah di Universitas Sahid. Jurusan perhotelan.
Kerja di Sahid Hotel Jogja adalah penugasan pertamanya. Ia anak yang hemat. Dua tahun kerja sudah bisa beli mobil bekas: Jip Willy’s. Ia tukangi Willy’s-nya itu. Jadi mobil yang keren. Ia memang tipe orang yang tidak bisa diam.
Rustono selalu melayani tamu hotel dengan hatinya. Tamu yang ulang tahun ia beri bunga. Yang ia petik dari taman. Ia taruh dalam gelas yang ada airnya. Ia ucapkan selamat ulang tahun pada tamunya.
Demikian juga kalau ada tamu yang lagi berbulan madu. Rustono ringan kaki. Membantu apa saja untuk membuat tamunya senang.
Suatu saat ada tamu dari Jepang. Wanita muda, umur 29 tahun. Sendirian. Rustomo menyapanya dengan keramahan khasnya: keramahan yang ia pertahankan sampai sekarang.
Keramahannya itu membuat sang tamu mudah akrab. Lalu bertanya, keesokan harinya: maukah mengantar ke Borobudur. Berapa harus membayar. Rustono mau. Bahkan menawarkan naik Willy’s-nya. Sang tamu kesenangan. Naik jip terbuka.
Menjelang Borobudur Rustono menawarkan pada tamunya: maukah melihat pedesaan. Sambil bercerita bahwa ia juga berasal dari desa.
Sang tamu mau saja. Bahkan suka. Lalu ditawarinya maukah minum air kelapa muda. Sambil menjelaskan bagaimana cara minum air kelapa muda. Yang belum pernah dialaminya.
Sampai di rumah temannya itu Rustono menghentikan Willy’s-nya di bawah pohon kelapa. Lalu Rustono sendiri yang memanjat pohon tinggi itu. Mengambil kelapanya. Memangkas sabutnya. Mengajari cara meminumnya. Langsung dari lubang batoknya.
Sang tamu sangat terkesan atas perhatian Rustono. Sampai memanjat pohon kelapa. Yang begitu tingginya.
Besok malamnya sang tamu minta diantar ke Prambanan. Melihat sendratari. Besoknya lagi minta diantarkan ke pantai: Parangtritis. Waktunya minta pas senja tiba.
Saat itulah mereka berdua berjalan di pantai. Yang airnya tersapu warna merah. Terkena sinar dari ufuk yang masih tersisa.
”Tiba-tiba dia menyatakan I love you,” ujar Rustono.
Itulah hari terakhir sang tamu berada di Jogja. Keesokan harinya harus kembali ke Jepang.
”Bagaimana ini,” ujar Rustono meresponnya. ”Hari ini bilang cinta, besok pulang ke Jepang,” tambahnya.
”Jangan khawatir. Saya akan segera kembali lagi,” ujar sang tamu.
Rustono saat itu di usia yang sama: 29 tahun. ”Saya lebih tua beberapa hari. Dia 5 Oktober. Saya 2 Oktober,” ujar Rustono.
Cinta dilanjutkan lewat kata-kata. Lewat tilpon. Sang tamu yang terus meneleponnya. Sampai Rustono sungkan. Mahal. Minta agar jangan lewat tilpon. Pakai surat saja.
Begitulah Rustono sering mengiriminya kartu pos. Dengan gambar lokasi-lokasi yang pernah didatangi pacarnya itu.
Sang tamu memang terikat tanggal yang ada di tiket. Harus pulang. Dia datang ke Jogja karena mampir.
Tujuan pokoknya adalah mengantarkan teman akrabnya. Ke Bali. Kawin dengan laki-laki Bali. Ia tidak mau lama-lama mengganggu bulan madu sang teman. Ingin ke Jogja. Tidak dia sangka dia kecurian di Jogja. Ada maling yang nggondol hatinya. Rustono malingnya.
Tempe Setelah Belajar Dorayaki
Membuat tempe di Jepang tidak semudah yang dibayangkan. Nasihat dari ‘’master tempe’’ asal Grobogan ternyata tak manjur. Di Negeri Sakura, jurus Grobogan, gagal total. Ikuti lanjutan kisah Raja Tempe yang ditulis wartawan Disway, Dahlan Iskan.
Rustono tahu. Surat yang datang lagi dan datang lagi itu dari Jepang. Dari pacar Parangtritis-nya: Tsuruko Kuzumoto.
Tapi tetap saja ia kaget: kali itu sudah ditulis dalam bahasa Indonesia. Meskipun pakai bahasa yang formal. Rupanya itu hasil kursusnya di Kyoto.
Misalnya masih pakai kata ‘Anda dipersilakan…’. Atau pakai kata ‘menghaturkan’. Formal sekali.
Selama di Jogja dulu keduanya bicara dalam bahasa Inggris. Cinta membuat Tsuruko ingin bisa bahasa pacarnya.
Enam bulan setelah kata cinta di Parangtritis, Tsuruko benar-benar datang ke Jogja lagi. Menunjukkan dua komitmen cintanya: menepati janjinya untuk datang. Dan sudah bisa berbahasa Indonesia.
Tsuruko tidak lagi jadi tamu di Hotel Sahid. Ia jadi tamunya Rustono. Tinggal di rumah kos sang pacar.
Dua minggu kemudian Tsuruko bikin kejutan: mengajak Rustono kawin. Dan tinggal di Jepang.
Rustono benar-benar sudah dekat dengan impiannya: kawin dengan salah satu tamu hotel tempatnya bekerja. Hanya saja kok harus tinggal di negeri tamunya.
Kian nyata ternyata mimpinya. Tapi juga kian menakutkannya. Setidaknya mengkhawatirkannya. Bagaimana bisa: hidup dengan wanita asing. Di negara asing. Semimpi-mimpinya kawin dengan tamu hotel tidak ia bayangkan sejauh itu.
Rustono minta waktu dua minggu. Ia belum berani juga memberitahu ibunya di desa, di Grobogan.
Ia hubungi dulu teman-temannya: siapa tahu kenal laki-laki yang kawin dengan wanita Jepang. Dan tinggal di Jepang. Ia akan minta nasehat. Bagaimana rasanya. Apa saja problemnya.
Ketemu. Satu orang Bandung. Ia cari nomor telponnya. Ia hubungi.
”Jangan seperti saya,” kata orang itu. ”Harus kerja dari subuh sampai malam. Tidak bisa ketemu anak. Waktu berangkat anak belum bangun. Waktu pulang anak sudah tidur,” tambahnya.
Orang itu lantas memberi saran. Jadi pengusaha saja. Kecil-kecilan tidak apa.
Nasehat itu yang terus terngiang di telinganya: jadi pengusaha.
Lantas ia ajak Tsuruko bicara. Ia ceritakan nasehat tersebut. ”Saya akan tetap bertanggungjawab sebagai suami. Tapi dukung saya. Untuk jadi pengusaha,” ujar Rustono pada calon istrinya itu.
”Saya tidak akan ngrepoti istri. Tapi kalau di awal-awal hidup nanti sulit apakah bisa menerima. Tidak marah-marah. Tidak rewel,” katanya.
Sang calon setuju saja. Pada apa yang diminta maling hatinya itu.
Dasar cinta.
Maka berangkatlah keduanya: ke Grobogan. Ke desa kelahiran Rustono. Ke rumah ibunya di desa. Yang lantainya anyaman bambu. Yang dindingnya kayu. Yang dinding dapurnya gedhek. Yang halamannya dipenuhi mangga. Juwet. Dan tanaman singkong.
Rustono berpesan pada ibunya. Agar ada yang bersihkan WC. Yang akan datang ini calon menantu. Dari Jepang pula. Yang begitu tinggi kebersihannya.
Rustono minta restu ibunya. Minta restu ayahnya: ke kuburannya. Lantas berangkatlah si calon pengantin ke Kyoto. Kawin di Kyoto. Tidak ada acara apa pun. Tidak pakai cara apa pun. Hanya ke catatan sipil. Berdua.
Nikah tanpa ada biaya. Sedikit pun.
Hanya sebulan Rustono tinggal di rumah mertua. Lalu mengontrak rumah. Saat empat hari di rumah mertua, Rustono pinjam sepeda adik iparnya. Ia keliling kota Kyoto. Lihat-lihat. Ada peluang bisnis apa.
Kesimpulannya: banyak makanan Jepang yang basisnya kedelai. Berarti lidah Jepang akan bisa menerima tempe.
Tempe!
Membuat tempe!
Bisnis tempe!
Itulah tekadnya. Bulat.
Tapi Rustono belum bisa membuatnya. Ia suka tempe. Waktu di desa. Tapi tidak pernah melihat orang membuat tempe.
Dalam hal ini saya bisa bangga: bisa bikin tempe. Dulu. Suka membantu ibu membuat tempe.
Rustono telpon ibunya. Minta diajari cara bikin tempe. Juga minta dikirimi ragi. Bahan kimia alami. Yang bisa membuat kedelai menjadi tempe.
Hambatannya jelas: tidak ada daun. Tapi di Jawa pun tempe sudah bisa dibuat dengan bungkus plastik.
Ia coba bikin tempe yang pertama. Ia beli kedelai 2 Kg. Ia rebus. Ia injak-injak. Seperti di desa. Untuk menghilangkan kulit arinya.
Dua hari kemudian ia lihat hasilnya: gagal total.
Tak terhitung petunjuk ibunya. Lewat telepon. Tapi tetap saja gagal.
Ibunya lantas ingat tetangganya. Pak Sidik. Yang penghidupannya membuat tempe.
” Pak Sidik itu kok menyelimuti tempenya dengan kain ya?,” ujar sang ibu. Sambil memberikan nomor telepon Pak Sidik.
”Apa fungsi kain penutup itu?,” tanya Rustono pada ahlinya itu.
”Agar bakal tempenya dalam suhu yang hangat,” jawab sang ahli.
Pantesan, kata Rustono dalam hati, ini kan bulan Oktober. Udara mulai dingin. Mana bisa hangat.
Apalagi bulan-bulan berikutnya lebih dingin. Lalu bersalju. Di kampungnya itu bisa minus 15 derajat. Di bulan Januari.
Rustono pun berangkat ke toko. Beli selimut listrik. Untuk menyelimuti tempenya.
Hasilnya? Membaik. Tapi tetap saja tidak sempurna. Ia terus membuang tempenya. Sehari 2 kg.
Rustono terpaksa mencari pekerjaan paro waktu. Untuk bisa dapat penghasilan. Mertuanya tahu di mana Rustono bisa bekerja seperti itu: di tempat pemasok toko kuenya. Sang mertua memang punya toko kue. Ada pabrik kue yang selalu memasok tokonya. Khususnya kue dorayaki. Yang seperti serabi. Yang ada kacang merah lembut di dalamnya.
Rustono bekerja serius di situ. Sambil belajar bikin usaha. Juragannya senang sekali. Seperti juga bos lamanya. Saat ia masih bekerja di hotel Sahid Jogja.
Bos kue dorayaki itu mau mengajarinya. Setidaknya Rustono akan bisa produksi dorayaki. Kalau tempenya terus saja gagal.
Tapi Rustono bukan orang yang mudah menyerah.
Tsuruko menepati janji: ini masa awal yang sulit bagi suaminya.
Membangun Mimpi Dari Atas Atap
—-
Ujian Rustono akhirnya mencapai batas. Berkat sumber air dari kuil itu, Rustono berhasil membuat tempe dengan sempurna. Berikut laporan wartawan Disway, Dahlan Iskan, dari Jepang.
—–
Akhirnya Tsuruko Kuzumoto jadi wanita hebat itu. Di belakang lelaki sukses itu: Rustono. Anak desa asal Grobogan itu.
”Ayo kita ke kuil,’’ ujar Tsuruko pada suaminya itu. Suatu waktu. Setelah melihat tempe suaminya selalu gagal. Berminggu-minggu.
Padahal sudah membeli selimut listrik. Untuk menyelimuti bakal tempenya. Agar tidak terkena udara dingin di musim dingin.
Juga tetap saja gagal.
Biar pun terus konsultasi dengan ahli tempe: ibunya atau tetangga ibunya. Lewat sambungan telepon internasional.
Pengantin baru itu pun berangkat ke kuil. Naik sepeda. Menuju stasiun terdekat. Lalu naik kereta api. Sejauh 30 km. Ada stasiun di dekat kuil itu. Mereka membawa jirigen. Untuk mengambil air dari pancuran. Yang selalu mancur tanpa henti. Di komplek kuil itu.
Banyak orang antri ambil air di situ. Umumnya membawa botol. Tapi Rustono membawa jerigen. Agar bisa membawa pulang air lebih banyak.
Kalau jerigen itu harus sampai penuh akan lama mengisinya. Antrian di belakangnya akan panjang. Rustono mengisi dulu jirigen itu setengahnya. Lalu mundur. Ikut antri lagi di barisan paling belakang. Untuk mengisinya lagi. Sampai penuh.
Air dari kuil itulah yang dibawa pulang. Untuk membuat tempe.
Menggantikan air dari kran di rumahnya.
Ternyata kali ini tempenya jadi! Untuk pertama kalinya.
Berkat air dari kuil itu.
Yang sepenuhnya mengalir dari sumber di pegunungan.
Kesimpulannya: membuat tempe tidak bisa dengan air kran.
Memang, di Jepang, kita bisa langsung minum air dari kran. Tanpa harus direbus. Begitu bersihnya. Tapi kandungan zat pembersih air itu masalahnya. Membuat ragi tempe tidak bisa berkembang.
Sejak menggunakan air dari sumber itulah tempenya tidak pernah gagal.
Rustono berhasil membuat tempe. Tantangan berikutnya: bagaimana bisa menjual tempe itu. Untuk lidah orang Jepang. Yang belum mengenal tempe sama sekali.
Tiap hari Rustono mendatangi restoran di Kyoto. Menawarkan terus tempenya. Dari pintu ke pintu.
Tidak mudah membuat orang asing membukakan pintu. Untuk orang tidak dikenal. Apalagi berwajah asing.
Sudah bisa diduga: tidak ada yang mau menerimanya.
Rustono tidak putus asa. Tekadnya sudah terlalu bulat untuk jadi pengusaha.
Lebih banyak lagi restoran yang ia datangi. Tidak juga ada yang mau.
Mendatangi terus. Ditolak terus.
Setelah berhari-hari gagal, ia sampai pada putusan ini: memberikan tempenya begitu saja. Ke pemilik sebuah restoran.
Caranya: saat menemui pemilik restoran terakhir itu ia tidak bicara apa pun. Ia langsung pegang tangan pemilik restoran itu. Ia taruh tempenya di telapak tangannya. Lalu ia tinggal pergi.
Cara itu ia lakukan karena terpaksa. Kalau Rustono minta ijin dulu pasti ditolak. Biar pun itu untuk memberikan tempenya secara gratis.
Tapi optimisme Rustono tidak pernah padam. Ia bertekad mencari rumah di pegunungan. Dekat hutan. Yang ada sumber airnya. Agar tidak selalu ke kuil. Yang 30 km itu.
Rustono mencari lokasi. Membangun rumah sendiri. Ditukangi sendiri. Dengan dibantu istri. Yang ikut mengangkat kayu. Atau menaikkan kayu.
Ia akan tinggal di rumah baru itu. Di situ pula ia akan terus memproduksi tempe.
Saat membangun rumah itulah Jepang lagi musim salju. Apalagi di desa Rustono ini. Yang di lereng gunung. Yang ketinggiannya 900 meter.
Yang saljunya lebih tebal.
Rustono tidak berhenti bekerja. Ia naik ke atap. Menyelesaikan rumahnya. Dengan menggigil kedinginan.
Ternyata kerja bersalju-salju itu tidak sia-sia. Ada wartawan lewat di jalan depan rumahnya. Terheran-heran. Kok ada orang kerja di atas atap. Saat salju lagi turun.
Difotolah itu Rustono.
”Lagi bikin apa?,” teriak si wartawan. Dari mobilnya.
”Membangun impian,’’ jawab Rustono. Antara serius dan bercanda.
Kata ‘membangun impian’ itu membuat si wartawan terpikat. Ia turun dari mobil. Mengajak Rustono bicara. Diwawancara. Tentang filsafat ‘membangun impian’ itu.
Maka terpaparlah ‘membangun impiannya’ Rustono di surat kabar Jepang. Hampir satu halaman penuh. Beserta foto-fotonya.
Dan itu di koran Yumiuri Shimbun. Koran yang sangat besar di Jepang. Saya pernah ke kantor pusatnya. Dulu. Juga ke percetakannya. Dulu.
Koran-koran Jepang juga ikut memberi inspirasi penting bagi saya. Terutama Chunichi Shimbun. Koran terbesar di Jepang Tengah. Di Nagoya: bagaimana koran daerah bisa mengalahkan koran ibukota di daerahnya. Saya ikuti kiat-kiat Chunichi Shimbun. Sampai berhasil.
Yang memotret Rustono itu rajanya koran di seluruh Jepang: Yumiuri Shimbun.
Itulah titik balik Rustono. Dimuat di koran besar. Satu halaman pula.
Restoran-restoran yang pernah ia datangi kaget. Membaca koran itu. mereka pada tilpon. Memesan tempenya. Mereka simpati pada Rustono.
Bukan soal kehebatan tempenya. Tapi pada besarnya tekad anak Indonesia itu. Dalam membangun mimpinya.
Di koran tadi kisah tentang tempenya hanya sekilas. Yang banyak justru tentang impian seorang manusia muda.
”Dari tulisan itu saya belajar. Menjual tempe ternyata tidak harus bercerita tentang tempe,” ujar Rustono.
Sejak itu tempenya terus berkembang. Kini Rustono punya tiga lokasi pembuatan tempe. Semuanya di daerah pegunungan. Dekat rumahnya. Yang sumber airnya banyak. Yang pemandangannya indah.
Di setiap lokasi itu dilengkapi cool storage. Sekali bikin tempe: 1,5 ton kedelai.
Tidak tiap hari ia bikin tempe. Saat saya ke lokasi No 3 nya, tempenya masih tampak kedelai. Di bungkusan-bungkusan plastik. Di jejer-jejer di rak-rak. Baru sehari sebelumnya dibuat.
Rustono baru membuat tempe lagi kalau yang 1,5 ton itu hampir habis terjual. Dan itu tidak lama. Hanya seminggu. Ada pengukur suhu du ruang itu: 35 derajat. Ada tiga kipas angin. Yang bergerak semua.
”Itu untuk memutar udara agar suhunya merata,” ujar Rustono.
Saya amati anak Grobogan ini: penuh energi. Sangat antusias. Optimistis. Khas orang sukses.
Ia juga humble. Sopan. Rendah hati. Khas orang sukses.
Ia selalu tersenyum. Kadang tertawa. Matanya berbinar. Khas orang sukses.
Saat mengunjungi lokasinya yang No 2 ada pemandangan unik. Ada kulkas di lantai bawah. Yang seperti garasi. Ada tulisan ditempel di kulkas itu. Ukurannya cukup besar. Bisa dibaca oleh orang yang lewat di jalan di dekatnya.
Bunyi tulisannya: silakan ambil sendiri. Harganya: 300 yen sebiji.
Ada kaleng berlubang yang digantung di atas kulkas. Itulah kasir Rustono.
Rustono membuka kulkas isi tempe itu. Isinya berkurang. Ia kocok kaleng berlubang itu. Yang ia gantung di atas kulkas itu. Berbunyi kecrek-kecrek. Pertanda ada uang di dalamnya.
Ia buka kaleng itu. Ia tumpahkan isinya. Ada uang lembaran 1000 yen. Ada pula segenggam uang koin.
Siapa saja boleh mengambil tempe di kulkas itu. Ia percaya semua orang Jepang pasti memasukkan uang ke kaleng itu. Sesuai harganya.
Rusto’s Tempeh Man Jadda
——
Tidak ada sukses yang datang tiba-tiba. Begitu pun Rustono. Dengan Rusto’s Tempeh-nya. ‘’Usahanya berkembang ke seluruh dunia karena semangat man jadda,’’ kata wartawan Disway, Dahlan Iskan dalam seri terakhir kisah Raja Tempe di Jepang itu.
——
Daerah pegunungan luar kota Kyoto ini indah sekali. Lokasi pembuatan tempe nomor 3 ini istimewa. Di sebuah lereng. Antara jalan kampung itu dan sungai. Yang airnya mengalir tipis. Di sela-sela bebatuan. Jernih sekali.
Saya heran. Kok Rustono diijinkan membangunnya di situ. Beruntung sekali anak desa Grobogan ini.
Di sekelilingnya hutan pinus. Di kejauhan sana tampak danau besar. Yang lingkarnya 200 km.
”Kalau musim gugur indahnya bukan main. Dedaunan di sini semua berwarna kuning dan merah,” katanya.
Itu berarti sekitar 2 minggu lagi. Saya terlalu dini datang ke sini. Ini pun di mata saya sudah sangat indah: gunung, sungai, bebatuan, hutan dan jalan yang berkelok-kelok.
Itu sesuai dengan impian Rustono muda. Tetap di desa tapi beda kelasnya. Kini Rustono 50 tahun. Anaknya dua: perempuan semua. Yang besar sudah kuliah: di pariwisata. Cita-citanya jadi pemandu wisata.
Yang kecil masih SMA. Sudah pandai memainkan saksofon. Seperti ayahnya. Saya diperlihatkan videonya: ayah dan bungsu main saksofon. Si sulung main keyboard. Asyik. Main musik bertiga. Dua saksofon saling sautan.
Keluarga ini juga sering berdayung kano. Di danau itu. Dan mancing. Tidak ada danau dan kano di desanya dulu. Di Grobogan. Dulu alam seperti pedesaan Kyoto ini hanya ada dalam mimpi.
Anak-anaknya itu pernah diajak ke Indonesia. Ke Grobogan. Tapi tidak ada keinginan untuk pindah ke Indonesia. Rustono sendiri sudah menyatu dengan istrinya. Di pegunungan ini.
”Saya sering bilang ke istri saya. Ingin sampai mati di sini. Mayat saya terserah dia. Mau dikubur silakan. Mau dikremasi gak apa-apa,” katanya.
Tapi Rustono tetap pegang paspor Indonesia. Hanya statusnya beda. Sudah permanen resident di Jepang.
Anak-anaknya pilih jadi warga negara Jepang. ”Saya kan orang Jawa. Tidak punya marga. Saya ijinkan anak-anak saya menggunakan marga ibunya,” ujar Rustono.
Tempe sudah menjadi usaha utamanya. Dan satu-satunya.
Rustono ingin menjadi seperti orang Jepang pada umumnya: profesional. Menekuni satu bidang. Dengan amat sungguh-sungguh. Sampai ahli. Sampai sempurna. Sampai jadi rajanya.
Kini gelar raja tempe sudah disandangnya. Literatur tempe sudah dikuasainya.
‘Rusto’s Tempeh’ sudah jadi brandnya yang kuat.
Kini Rustono membuat langkah baru: dari Indonesia untuk dunia. Tidak hanya puas menjadi raja tempe Jepang. Ia sedang mengembangkan tempe di Meksiko, Korea, Austria dan sebentar lagi Amerika. Menggunakan sistem waralaba.
Rustono yang memegang rahasianya. Tidak ia berikan ke pemegang waralabanya: ragi. Di negara mana pun tempe dibuat: raginya harus dibeli dari Rusto’s Tempeh.
Kini literatur dunia tentang tempe selalu mengacu pada Rusto’s Tempeh.
”Banyak yang datang ke sini belajar bikin tempe,” ujar Rustono. Waralabanya yang di negara manca itu semua pernah ke Kyoto. Dua minggu tinggal di rumah
Rustono. Tidur di situ. Di lantai atas rumahnya itu. Sampai merasa mampu membuat tempe di negara masing-masing. Dengan merk Rusto’s Tempeh.
”Saya sengaja menulis tempeh agar dibaca tempe. Kalau saya tulis tempe nanti dibaca timpi,” katanya.
Memang di negara mana pun ada ragi. Dalam bahasa Inggris disebut yeast. Yang untuk bikin roti itu. Tapi ragi untuk tempe berbeda. Kalau pakai ragi roti tempenya akan warna coklat.
Di mana bedanya?
”Ya itulah bagian dari yang harus saya rahasiakan,” kata Rustono. ”Istri saya pun belum saya beri tahu,” tambahnya.
Rahasia itu akan ia wariskan ke anaknya. Kelak. Si sulung masih ingin bekerja dulu sebagai pemandu wisata. Di Jepang. Lalu ingin jadi pemandu wisata di Eropa. Untuk turis Jepang. Setelah puas dengan itulah. Baru akan meneruskan usaha bapaknya. Kira-kira 15 tahun lagi. Khas orang Jepang: punya perencanaan jangka panjang.
Saya menghormati kerahasiaan Rustono akan raginya. Tidak apa-apa. Mengapa? Ia tidak tahu: saya bisa bikin ragi itu. Dulu. Saat masih kecil di desa. Mudah sekali. Dan cepat sekali. Rasanya, dulu, saya selalu membuat ragi sendiri. Dari tempe yang ada. Kalau belum lupa.
Apakah sukses Rustono ini ‘sukses kebetulan’?
Kebetulan karena ada wartawan lewat di depan rumahnya?
Kebetulan itu di musim salju?
Kebetulan wartawannya tiba-tiba tertarik memotretnya?
Kebetulan Rustono lagi iseng –dengan menjawab sekenanya: lagi membangun mimpi?
Kebetulan wartawan itu dari koran besar?
Saya tidak setuju dengan ‘teori kebetulan’ itu.
Sama dengan saat wartawan saya dulu memenangkan hadiah foto terbaik dunia: Sholehuddin. Anak Kediri. Yang memotret ini: truk militer bermuatan penuh supporter Persebaya. Terlalu penuh. Sampai truk itu dalam posisi hampir terguling. Roda sebelahnya sudah terangkat tinggi. Banyak supporter yang tumpah dari truk itu. Terlihat kepanikan supporter. Terlihat kepanikan sopirnya. Yang pakai seragam tentara.
Foto itu jadi juara dunia. World Press Photo. Dengan keputusan dewan yuri secara aklamasi. Tanpa perdebatan. Jarang sebuah foto langsung terpilih dengan cara itu: aklamasi.
Foto karya Sholehuddin pemenang World Press Photo 1996 (worldpressphoto.org)
Banyak wartawan yang berpendapat: itu foto kebetulan. Sholehuddin kebetulan ada di dekat lokasi. Momentumnya kebetulan pas supporter itu tumpah ke samping. Kebetulan hasilnya tidak kabur.
Kebetulan ia memang bukan fotografer. Ia wartawan tulis. Yang kebetulan bisa memotret. Sebatas bisa memotret.
Tapi, kata saya membelanya, itu bukan kebetulan. Itu hasil dari sebuah kesungguhan. Sholehuddin adalah wartawan yang sungguh-sungguh. Rajin. Jalan terus. Nggelitis, istilah saya.
Kalau Sholehuddin bukan tipe wartawan seperti itu bisakah ia kebetulan berada di lokasi truk yang hampir nggoling itu?
Demikian juga Rustono. Si raja Rusto’s Tempeh. Dari Kyoto itu. Eh, dari Grobogan itu.
Akankah ada wartawan yang melihatnya? Kalau hari itu ia hanya duduk-duduk malas makan telo bakar panas? Di dalam rumahnya? Di musim salju itu?
Mungkin itu memang ada unsur kebetulannya. Tapi kebetulan yang diundang. Kebetulan yang dijemput. Kebetulan yang bukan sekedar kebetulan.
Itu hasil kesungguhan.
Man jadda wa jada.
Sungguh mudah diucapkan.
Sungguh jarang yang bisa melaksanakan.
Rustono adalah manusia man jadda wa jada itu.
(dahlan iskan )
Casino Slot Machines - JeTHub
BalasHapus"The game has more than 1000 paylines and 여수 출장안마 can 수원 출장샵 be played for up to 태백 출장안마 10000 euro and a fixed jackpot. 광주 출장안마 This 광명 출장안마 is the highest and the most popular version of the game.